Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan manusia yang sangat tinggi.
Pertumbuhan ini sangatlah berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia. Salah
satu aspek dalam perekonomian Indonesia yakni tenaga kerja. Tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa ,
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pasca reformasi, hukum perburuhan mengalami perubahan
luar biasa; baik secara regulatif, politik, maupun ideologis; bahkan ekonomi
global. Proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis ekonomi
politik suatu bangsa dalam perkembangannya mulai menuai momentumnya. Hukum
perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan
pengusaha sekaligus. Sebagai peredam konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan
maksimal. Faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mestinya tidak perlu
lagi jadi perdebatan, namun kenyataannya Undang-undang memberi peluang besar
untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. Memang undang-undang
perburuhan juga mengatur aturan pidananya namun hal tersebut masih dirasa sulit
oleh penegak hukumnya. Di samping banyaknya kelemahan lain yang ke depan mesti
segera dicarikan jalan keluarnya. Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar
membatasi gerakan serikat Buruh dan serikat pekerja. Saat itu organisasi buruh
dibatasi hanya satu organisasi, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pola
penyelesaian hubungan industrial pun dianggap tidak adil dan cenderung
represif. Oknum militer saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan
wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari pola penyelesaian hubungan
industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal
di Jawa Timur misalnya Marsinah dan
lain-lain.
Berdasarkan permasalahan
tersebut, penulis mengangkat
judul makalah “Hukum
Perburuhan di Indonesia UU No 12 Tahun 1948 dan UU No 12 Tahun 1964” sesuai
materi yang di peroleh. Kajian ini dibuat sebagai salah satu cara
untuk mengetahui lebih dalam mencermati masalah hukum perburuhan di Indonesia
serta undang-undang yang berlaku pada hal ini.
UU
No 12
Tahun 1948 Tentang
Undang-Undang Kerja
Apa yang dimaksud dengan hukum? Hukum adalah peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan penguasa atau
peraturan. Hukum mengatur pergaulan masyarakat serta sebagai patokan kaidah
penentuan, mengenai peristiwa tertentu yang keputusannya ditentukan oleh hakim
berupa vonis dalam pengadilan. Hukum
Perburuhan adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha,
di satu sisi, dan Pekerja atau buruh, di sisi yang lain.
Undang-undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1948, merupakan perundangan tentang undang-undang
kerja yang menjelaskan aturan terhadap pekerja buruh, dimana pada pasal 1 ayat 1 yang
dimaksudkan dengan pekerjaan ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk
majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Dalam
perundang-undangan ini juga menjelaskan mengenai :
·
Pekerjaan anak-anak dan orang muda pada
pasal 2 sampai pasal 6
Dimana
anak-anak tidak boleh menjalankan pekerjaan, orang muda tidak boleh
·
Pekerjaan orang wanita yang terdapat
pada pasal 7 sampai pasal 9
·
Jam kerja dan jam istirahat yang
terdapat pada pasal 10 sampai pasal 15
·
Tempat kerja dan perumahan buruh yang terdapat pada pasal 16
·
Tanggung jawab yang terdapat pada pasal
17
·
Aturan hukuman yang terdapat pada pasal
18 sampai pasal 19
·
Pengusutan pelanggaran yang terdapat
pada pasal 20
·
Aturan tambahan yang terdapat pada pasal
21 sampai pasal 22
Undang – undang ini berfungsi untuk
melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan diantaranya :
·
Pasal 10 ayat 1 Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau
pekerjaan dijalankan
pada malam hari
atau berbahaya bagi
kesehatan atau keselamatan buruh,
waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari
dan 35 jam seminggu.
·
Pasal 10 ayat 2 Setelah
buruh
menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus
diadakan
waktu istirahat
yang
sedikit-sedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud
dalam ayat 1
·
Pasal 13 ayat 2 Buruh Wanita harus
diberi istirahat selama
satu
setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan
akan
melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah
melahirkan anak atau gugur-kandung.
UU
No 12
Tahun 1964 Tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
Pemutusan hubungan
kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Persoalan pemutusan hubungan kerja menjadi
mengedepan jika majikan ingin memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja,
padahal buruh masih ingin tetap bekerja. Mengedepannya persoalan ini terletak
pada keinginan majikan yang lazimnya serba kuat berhadapan dengan
keinginan buruh yang lazimnya serba
lemah. Ketentuan-ketentuan mengenai berakhirnya hubungan kerja yang tercantum
dalam Bab VII-A Buku III KUH Perdata tidak cukup memberikan perlindungan kepada
buruh dari keinginan majikan untuk
memutuskan hubungan kerja. Padahal, hukum yang bersifat memaksa yang dapat
mengekang keinginan majikan itu merupakan benteng perlindungan terakhir agar
buruh tetap mempunyai pekerjaan, yang berarti menjamin kelangsungan perolehan
nafkah. Oleh karena itu pada tanggal 23 september 1964 lahirlah Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1964, yang merupakan
perundangan tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta.
Dimana undang
–undang ini dimaksudkan untuk menjamin ketentraman serta kepastian bekerja bagi
kaum
buruh.
Dalam perundang-undangan ini menjelaskan mengenai :
·
Mengusahakan agar tidak terjadi
pemutusan hubungan kerja yang terdapat pada pasal 1
·
Perundingan pemutusan dengan organisasi
buruh, jika terjadi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan terdapat
pada pasal 2
·
Jika dalam perundingan tidak
menghasilkan persesuaian paham, majikan hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan buruh setelah memperoleh izin dari panitia penyelesaian perselisihan
perburuhan terdapat pada pasal 3
·
Perundingan atau izin yang terdapat pada
pasal 3 tidak diperlukan terhadap buruh dalam masa percobaan terdapat pada
pasal 4
·
Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi
dasarnya harus diajukan secara tertulis
kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan
pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perorangan dan kepada Pusat bagi pemutusan hubungan
kerja secara besar-besaran terdapat pada pasal 5
·
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk
penyelesaian perselisihan perburuhan
terdapat pada pasal 6
·
Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan
Panitia Pusat harus memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan terdapat pada pasal 7 ayat 1
·
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Pusat atau pemberian izin dengan syarat tersebut pada pasal
7 ayat (2), dalam waktu 14 (empat betas)
hari
setelah pemutusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan,
baik
buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi
buruh/ atau organisasi
pengusaha yang bersangkutan dapat diminta banding kepada Panitia Pusat
terdapat pada pasal 8
·
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat banding
terdapat pada pasal 9
·
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti
tersebut pada pasal
3 adalah batal
karena hukum terdapat pada pasal 10
·
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam
hal ada permintaan banding tersebut pada
pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi
segala kewajibannya terdapat pada pasal 11
·
Undang-undang ini
berlaku bagi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi
di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai
masa kerja dari
3 (tiga) bulan berturut-turut terdapat pada pasal 12
·
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur
dalam Undang-undang ini
ditetapkan oleh Menteri
Perburuhan terdapat pada pasal 13
·
Undang-undang ini
mulai berlaku pada hari
diundangkannya.
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia terdapat
pada pasal 14
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum Undang- undang No 12 Tahun 1948 merupakan perundangan tentang undang-undang
kerja yang menjelaskan aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan
untuk menjadi seorang buruh, dimana anak-anak tidak diperbolehkan untu bekerja,
Pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap
buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan
pelanggaran dan aturan tambahan. Sedangkan Undang-undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1964, merupakan perundangan tentang pemutusan
hubungan kerja di perusahaan swasta yang dimaksudkan untuk menjamin ketentraman
serta kepastian bekerja bagi
kaum
buruh.
Sumber:
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1948 tentang Undang – Undang Kerja Tahun 1948
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1964 tentang pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perburuhan
website
dibuka pada tanggal 24 Desember 2017, pukul 08.00 pm