HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA UU NO 12 TAHUN 1948 DAN UU NO 12 TAHUN 1964

| Senin, 25 Desember 2017
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan manusia yang sangat tinggi. Pertumbuhan ini sangatlah berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia. Salah satu aspek dalam perekonomian Indonesia yakni tenaga kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa , baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pasca reformasi, hukum perburuhan mengalami perubahan luar biasa; baik secara regulatif, politik, maupun ideologis; bahkan ekonomi global. Proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembangannya mulai menuai momentumnya. Hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus. Sebagai peredam konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal. Faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mestinya tidak perlu lagi jadi perdebatan, namun kenyataannya Undang-undang memberi peluang besar untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. Memang undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidananya namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. Di samping banyaknya kelemahan lain yang ke depan mesti segera dicarikan jalan keluarnya. Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar membatasi gerakan serikat Buruh dan serikat pekerja. Saat itu organisasi buruh dibatasi hanya satu organisasi, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pola penyelesaian hubungan industrial pun dianggap tidak adil dan cenderung represif. Oknum militer saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari pola penyelesaian hubungan industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis mengangkat judul makalah  “Hukum Perburuhan di Indonesia UU No 12 Tahun 1948 dan UU No 12 Tahun 1964 sesuai materi yang di peroleh. Kajian ini dibuat sebagai salah satu cara untuk mengetahui lebih dalam mencermati masalah hukum perburuhan di Indonesia serta undang-undang yang berlaku pada hal ini.

UU No 12 Tahun 1948 Tentang Undang-Undang Kerja
 Apa yang dimaksud dengan hukum? Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan penguasa atau peraturan. Hukum mengatur pergaulan masyarakat serta sebagai patokan kaidah penentuan, mengenai peristiwa tertentu yang keputusannya ditentukan oleh hakim berupa vonis dalam pengadilan. Hukum Perburuhan adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha, di satu sisi, dan Pekerja atau buruh, di sisi yang lain.
Undang-undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1948, merupakan perundangan tentang undang-undang kerja yang menjelaskan aturan terhadap pekerja buruh, dimana pada pasal 1 ayat 1 yang dimaksudkan dengan pekerjaan ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Dalam perundang-undangan ini juga menjelaskan mengenai :
·         Pekerjaan anak-anak dan orang muda pada pasal 2 sampai pasal 6
Dimana anak-anak tidak boleh menjalankan pekerjaan, orang muda tidak boleh
·         Pekerjaan orang wanita yang terdapat pada pasal 7 sampai pasal 9
·         Jam kerja dan jam istirahat yang terdapat pada pasal 10 sampai pasal 15
·         Tempat kerja dan perumahan buruh  yang terdapat pada pasal 16
·         Tanggung jawab yang terdapat pada pasal 17
·         Aturan hukuman yang terdapat pada pasal 18 sampai pasal 19
·         Pengusutan pelanggaran yang terdapat pada pasal 20
·         Aturan tambahan yang terdapat pada pasal 21 sampai pasal 22

Undang – undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan diantaranya :
·         Pasal 10 ayat 1 Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
·         Pasal 10 ayat 2 Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikit-sedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat 1
·         Pasal 13 ayat 2 Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.


UU No 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta

Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.  Persoalan pemutusan hubungan kerja menjadi mengedepan jika majikan ingin memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja, padahal buruh masih ingin tetap bekerja. Mengedepannya persoalan ini terletak pada keinginan majikan yang lazimnya serba kuat berhadapan dengan keinginan  buruh yang lazimnya serba lemah. Ketentuan-ketentuan mengenai berakhirnya hubungan kerja yang tercantum dalam Bab VII-A Buku III KUH Perdata tidak cukup memberikan perlindungan kepada buruh dari keinginan  majikan untuk memutuskan hubungan kerja. Padahal, hukum yang bersifat memaksa yang dapat mengekang keinginan majikan itu merupakan benteng perlindungan terakhir agar buruh tetap mempunyai pekerjaan, yang berarti menjamin kelangsungan perolehan nafkah. Oleh karena itu pada tanggal 23 september 1964 lahirlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964, yang merupakan perundangan tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta. Dimana undang –undang ini dimaksudkan untuk menjamin ketentraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh. Dalam perundang-undangan ini menjelaskan mengenai :
·         Mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja yang terdapat pada pasal 1
·         Perundingan pemutusan dengan organisasi buruh, jika terjadi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan terdapat pada pasal 2
·         Jika dalam perundingan tidak menghasilkan persesuaian paham, majikan hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh setelah memperoleh izin dari panitia penyelesaian perselisihan perburuhan terdapat pada pasal 3
·         Perundingan atau izin yang terdapat pada pasal 3 tidak diperlukan terhadap buruh dalam masa percobaan terdapat pada pasal 4
·         Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perorangan dan kepada Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran terdapat pada pasal 5
·         Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan terdapat pada pasal 6
·         Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat harus memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan terdapat pada pasal 7 ayat 1
·         Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Pusat atau pemberian izin dengan syarat tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu 14 (empat betas) hari setelah pemutusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/ atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat diminta banding kepada Panitia Pusat terdapat pada pasal 8
·         Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat banding terdapat pada pasal 9
·         Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum terdapat pada pasal 10
·         Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya terdapat pada pasal 11
·         Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja dari 3 (tiga) bulan berturut-turut terdapat pada pasal 12
·         Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan terdapat pada pasal 13

·         Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia terdapat pada pasal 14


Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum Undang- undang No 12 Tahun 1948 merupakan perundangan tentang undang-undang kerja yang menjelaskan aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, dimana anak-anak tidak diperbolehkan untu bekerja, Pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran dan aturan tambahan. Sedangkan Undang-undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1964, merupakan perundangan tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta yang dimaksudkan untuk menjamin ketentraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh.

Sumber:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1948 tentang Undang – Undang Kerja Tahun 1948

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1964 tentang pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perburuhan website dibuka pada tanggal 24 Desember 2017, pukul 08.00 pm



Baca selengkapnya »
 

Copyright © 2010 Yuni Nofitasari | Design by btemplatebox.com